Indahnya Kembali kepada Kebenaran

MUQODDIMAH

Syaikhul Islam رحمه الله berkata, "Hati diciptakan untuk mencintai kebenaran. la akan selalu mencari dan menginginkannya." [1]

Sesungguhnya Allah عزّوجلّ menciptakan manusia di atas fitrah. Allah عزّوجلّ berfirman:

فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

"Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu." (QS ar-Rum [30]: 30)

Dan kebenaran adalah salah satu fitrah yang telah ditanamkan oleh Allah عزّوجلّ dalam diri setiap manusia.

TIDAK ADA MANUSIA YANG BERSIH DARI KESALAHAN

Seorang hamba tidak dituntut maksum dari kesalahan, baik ketika dia bergaul dengan manusia atau beribadah kepada Allah عزّوجلّ. Bagaimanapun juga, salah dan lupa menjadi tabiat dasar seorang insan. Ketika seorang hamba bersalah atau terjatuh ke dalam dosa, yang wajib baginya adalah kembali kepada kebenaran, bersegera kembali kepada Allah عزّوجلّ agar dia termasuk seorang hamba yang disebutkan dalam al-Qur'an:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS Ali 'Imran [3]: 135)

Barang siapa meneliti perjalanan para salaf, niscaya tidak akan menemui pada mereka seorang pun yang punya keistimewaan terjaga dari kesalahan. Akan tetapi, secara yakin kita akan mendapati bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat sedikit salahnya. Mereka adalah orang-orang yang paling berhak untuk menyandang gelar dalam firman Allah عزّوجلّ:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya." (QS al-A'raf [7]: 201)

Inilah letak pentingnya untuk bersegera bertaubat, kembali kepada kebenaran ketika telah jelas kesalahan. Hal ini lebih baik daripada tetap berada dalam kebatilan hanya demi mengikuti hawa nafsu, bujukan setan, senang dan bangga dengan kesombongan diri.

MANUSIA BERBEDA - BEDA TABIATNYA

Telah diketahui secara pasti bahwa manusia punya tabiat yang berbeda-beda. Ada orang yang sifatnya selalu senang, ada yang sering murung, ada juga yang tawadhu', ada yang sombong, dan seterusnya.

Sifat-sifat tersebut yang paling istimewa adalah orang yang sedikit marahnya dan segera mengakui salah serta kembali kepada kebenaran.

Orang yang seperti ini akan cepat mengakui kesalahannya, akan cepat bertaubat dan merasa bersalah yang membawanya untuk kembali ke jalan kebenaran dan memohon ampunan. Jiwanya selalu memerintahkan kepada keburukan, tetapi dirinya mampu menguasainya dan mengalahkannya sehingga dia akan segera kembali kepada kebenaran. Orang semacam ini yang akan mendapat keutamaan. Apa saja keutamaan kembali kepada kebenaran? Jawabnya:

HIKMAH DAN KEUTAMAAN KEMBALI
KEPADA KEBENARAN

1. Melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ

Allah عزّوجلّ mewajibkan seluruh manusia mengikuti kebenaran, bukan mengikuti adat istiadat atau selalu dalam kebatilan. Allah عزّوجلّ berfirman:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)." (QS al-A'raf [7]: 3)

2. Mengakui kerendahan dirinya

Sifat manusia yang selalu bersalah akan membawa manusia bersifat rendah hati, mengakui kerendahan dirinya, tidak sombong, karena hanya Allah عزّوجلّ semata yang Maha Sempurna. Nabi عزّوجلّ bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ

"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kamu tidak berbuat dosa, Allah benar-benar akan menggantikan kamu dan mendatangkan suatu kaum yang akan berbuat dosa, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, maka Allah mengampuni mereka." [2]

3. Sifat orang yang beriman

Sifat orang yang beriman adalah orang yang segera sadar dari kesalahan, bertaubat kepada Allah عزّوجلّ, dan tidak sombong untuk kembali kepada kebenaran. Sebaliknya, orang munafik adalah orang yang sombong dan enggan menerima kebenaran. Allah عزّوجلّ berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالإثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

"Dan apabila dikatakan kepadanya 'bertaqwalah kepada Allah', bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya." (QS al-Baqarah [2]: 206)

4. Meninggikan kedudukannya di hadapan manusia

Orang yang mulia dan terhormat adalah orang yang menerima kebenaran dan mau kembali pada kebenaran. Sementara itu, orang yang angkuh adalah orang yang menolak kebenaran.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

الْـكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

"Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia." [3]

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله mengatakan, "Yang wajib bagi seorang insan adalah kembali kepada kebenaran di mana pun dia mendapatinya. Walaupun hal itu menyelisihi pendapatnya, tetapi kembalilah kepada kebenaran. Karena hal ini lebih mulia di sisi Allah, lebih mulia di sisi manusia, lebih selamat bagi jiwanya dan lebih bersih, tidak akan membahayakannya. Dan janganlah engkau menyangka jika engkau meninggalkan pendapatmu menuju kebenaran maka hal itu akan menjatuhkan kedudukanmu di mata manusia. Bahkan sebaliknya, hal ini akan meninggikan kedudukanmu dan orang-orang akan mengetahui bahwa engkau tidak mengikuti kecuali kebenaran. Adapun orang yang terus memegangi pendapatnya dan menolak kebenaran, maka orang yang seperti ini adalah orang yang sombong, dan kita berlindung kepada Allah." [4]

5. Masuk ke dalam surga

Orang-orang yang tidak sombong, yang mau kembali kepada kebenaran, yang mengakui kesalahannya itulah yang berhak masuk surga. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَا يَدْخُلُ الـجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ مِنْ كِبْرِ

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sifat sombong walaupun seberat biji sawi." [5]

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali رحمه الله tatkala mengomentari hadits di atas beliau berkata, "Orang yang sombong adalah orang yang memandang dirinya sempurna segala-galanya. Dia memandang rendah orang lain, meremehkan dan menganggap orang lain tidak pantas mengerjakan suatu urusan, sombong menerima kebenaran jika datang dari orang lain." [6]

KEMBALI KEPADA KEBENARAN LEBIH BAIK
DARIPADA TERUS DALAM KEBATILAN

Bukan sebuah aib jika seorang terjatuh dalam kesalahan, karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْـخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

"Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat." [7]

Yang menjadi musibah adalah jika seseorang tetap dan terus berada dalam kesalahan dan kebatilan setelah jelas baginya kebenaran. Padahal, jika kita renungi ayat-ayat al-Qur'an, ternyata sangat banyak yang memerintahkan kita agar mengikuti kebenaran. Di antaranya:

Allah عزّوجلّ berfirman:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)." (QS al-A'raf [7]: 3)

Allah berfirman pula:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertaqwa." (QS al-An'am [6]: 153)

B UANG JAUH - JAUH SIKAP SOMBONG!

Mulai detik ini, marilah kita berlapang dada untuk menerima kebenaran. Buang jauh-jauh sikap sombong menolak kebenaran dan terus dalam kebatilan. Janganlah Anda berpaling dari kebenaran dan seruan Allah عزّوجلّ untuk mengikuti kebenaran! Allah عزّوجلّ berfirman:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ

"Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa." (QS as-Sajdah [32]: 22)

Al-Imam Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan, "Demikianlah jika seorang hamba berpaling dari Rabbnya, Allah akan membalasnya dengan berpalingnya Allah darinya. Tidak mungkin baginya kembali kepada Allah. Ingatlah selalu kisah Iblis, semoga engkau bisa mengambil manfaat dari kisah ini, tatkala Iblis bermaksiat kepada Rabbnya dan tidak patuh terhadap perintah-Nya, dia terus seperti itu, maka Allah menghukumnya dengan menjadikan dirinya sebagai penyeru setiap kemaksiatan, baik yang besar maupun yang kecil, hal ini karena sebab berpaling dari Allah. Balasan kejelekan adalah kejelekan semisalnya, sebagaimana balasan kebaikan adalah kebaikan." [8]

KISAH TELADAN PARA AS - SALAFUSHSHALIH

Sungguh mereka telah mencontohkan teladan yang baik bagi umat ini dalam mengajarkan kembali kepada kebenaran. Di antara kisah-kisah tersebut adalah:

1. Kisah SahabatAbu Bakar bersama Misthah

Alkisah, Abu Bakar رضي الله عنه, punya seorang kerabat yang miskin yang bernama Misthah ibn Utsasah. Beliau selalu memberikan nafkah kepadanya. Ketika terjadi fitnah al-ifki, Misthah termasuk orang yang ikut menyiarkan berita bohong terhadap Aisyah رضي الله عنها. Setelah turun ayat al-Qur'an yang membebaskan Aisyah رضي الله عنها, dari segala tuduhan, maka Abu Bakar رضي الله عنه bersumpah untuk tidak lagi memberinya nafkah. Lalu turunlah firman Allah yang berbunyi:

وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS an-Nur [24]: 22)

Belum sampai potongan ayat ini selesai, Abu Bakar رضي الله عنه berucap, "Benar, demi Allah aku sangat senang Allah mengampuniku." Maka Abu Bakar kembali memberikan nafkah kepada Misthah dan beliau berkata, "Demi Allah, aku tidak akan mencabut nafkah ini selamanya." [9]

2. Umar ibn al-Khaththab bersama Abu Musa al-Asy'ari

Umar ibn al-Khaththab رضي الله عنه menulis surat kepada Abu Musa al-Asy'ari رضي الله عنه, "Jangan menghalangimu keputusan yang telah engkau putuskan hari ini, kemudian engkau menarik kembali pendapatmu. Maka engkau akan mendapat petunjuk di dalamnya karena kecerdikanmu, kembali kepada kebenaran. Sesungguhnya kebenaran itu tidak bisa terbatalkan dengan sesuatu apa pun. Kembali kepada kebenaran adalah lebih baik daripada terus-menerus dalam kebatilan." [10]

3. Abul Hasan al-Asy'ari

Dahulunya, Abul Hasan al-Asy'ari menganut madzhab Mu'tazilah selama 40 tahun hingga menjadi imam panutan di dalam madzhab ini. Kemudian, beliau menghilang dari hiruk pikuk manusia, menyendiri selama 15 hari di dalam rumahnya. Lalu beliau keluar dan langsung naik mimbar di masjid jami' saat itu sambil berkata, "Wahai sekalian manusia, aku menghilang dari kalian selama ini karena aku berfikir dan mengkaji dalil-dalil, tidak ada yang menguatkan kebenaran atas kebatilan dan kebatilan atas kebenaran. Kemudian, aku memohon petunjuk kepada Allah, maka Allah pun memberikan petunjuk kepadaku kepada sebuah keyakinan yang aku tuangkan di dalam kitab ini. Dan aku berlepas diri dari seluruh keyakinan yang dahulu aku yakini sebagaimana aku melepas baju ini." Maka beliau melepas baju yang dipakainya dan melemparkannya, dan memberikan kitab karangannya yang sesuai dengan madzhab Ahlussunnah kepada manusia. [11]

4. Ibnul Jauzi

Yang paling menakjubkan dalam kembali pada kebenaran adalah apa yang diceritakan tentang Ibnul Jauzi رحمه الله bahwasanya dia beramal dengan sebuah hadits yang mengandung sebagian do'a setelah selesai shalat. Dia berkata, "Aku sudah mendengar hadits ini sejak kecil. Aku mengamalkannya sekitar tiga puluh tahun karena aku menganggap baik para periwayat haditsnya. Tatkala aku mengetahui bahwa haditsnya palsu, aku pun meninggalkannya. Ada orang yang bertanya kepadaku, 'Bukankah haditsnya digunakan untuk sesuatu yang baik?' Aku menjawab, 'Menggunakannya untuk suatu kebaikan harus sesuai dengan syari'at. Apabila kita ketahui bahwa haditsnya palsu dan dusta maka (berarti) sudah keluar dari syari'at!!'" [12]

5. Ibnul 'Arabi

Al-Imam al-Qadhi Abu Bakar Ibnul 'Arabi رحمه الله berkata dalam kitabnya Ahkam al-Qur'an: Telah menceritakan kepadaku Muhammad ibn Qashim al-Utsmani, lebih dari sekali dia berkata, "Suatu hari, aku pernah datang ke kota Fusthat, maka aku mendatangi majelisnya Syaikh Abu Fadhl al-Jauhari. Aku mendengarkan ceramahnya di hadapan manusia. Di antara pelajaran yang aku dengar di awal majelis tersebut adalah: Nabi صلى الله عليه وسلم pernah menceraikan, men-zhihar, dan 'ila'. Tatkala Syaikh keluar, aku mengikutinya hingga ke rumahnya bersama jama'ah manusia yang lain. Di dalam rumah, kami berbincang-bincang dan mereka mengenalkan aku karena aku orang asing. Tatkala para jama'ah bubar, maka Syaikh memanggilku dan bertanya, 'Engkau orang asing di sini, apakah ada sesuatu yang ingin engkau sampaikan?' Maka aku berbicara hanya berdua saja dengannya, aku berkata, 'Hari ini saya menghadiri majelis Anda karena mengharap keberkahan dari Anda, dan saya mendengar bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم meng-'ila' dan Anda telah benar, Rasulullah men-thalaq dan Anda benar, dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم men- zhihar, dan yang ini tidak pernah terjadi. Dan tidak boleh terjadi, karena zhihar adalah ucapan yang mungkar dan dosa, dan hal itu tidak boleh terjadi pada diri Nabi صلى الله عليه وسلم!.' Maka Syaikh memelukku dan mencium kepalaku dan beliau berkata, Aku bertaubat terhadap hal itu. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Sang Pengajar kebaikan.' Kemudian aku pulang. Esok harinya, aku berpagi-pagi untuk datang ke majelisnya, ternyata aku mendapati Syaikh telah datang terlebih dahulu dan duduk di atas mimbar. Tatkala beliau melihatku maka beliau bersuara dengan suara yang keras, 'Selamat datang, wahai Sang Guru, berikan tempat untuk guruku.' Maka seluruh manusia yang hadir menoleh dan melihat kearahku. Mereka semua berebutan mengangkatku dan membawaku sampai ke atas mimbar. Karena saking malunya, aku tidak tahu di tempat mana aku sekarang berada!! Masjid jami' saat itu penuh dengan manusia. Karena malu, seluruh tubuhku mulai berkeringat!! Lalu Syaikh mulai menghadap manusia dan berkata, 'Saya adalah guru kalian, dan ini adalah guru saya. Kemarin saya katakan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم meng- 'ila', men-thalaq, dan men-zhihar. Tidak ada seorang pun dari kalian yang faham akan hal ini dan tidak ada yang membantahku, maka dia mengikutiku sampai di rumah, dan berkata begini dan begitu'—Syaikh mengulang-ulang dialog yang terjadi antaraku aku dengannya—, 'Maka aku bertaubat dari ucapan yang aku katakan kemarin. Aku kembali kepada kebenaran. Barang siapa mendengarnya dari para hadirin maka jangan ditambahi, barang siapa tidak hadir maka yang hadir hendaknya memberi tahu. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.' Maka Syaikh mulai mendo'akan aku dengan do'a-do'a dan manusia mengaminkannya."

Ibnul 'Arabi رحمه الله mengomentari, "Lihatlah kisah ini, semoga Allah merahmati Anda, lihatlah bagaimana agama yang kuat ini, pengakuan terhadap ilmu kepada ahlinya di hadapan khalayak ramai, dari seorang yang telah mencapai derajat kepemimpinan dan sudah terkenal keilmuan dan kehebatannya, dia mengakui seorang asing yang tidak diketahui siapa dia, dan tidak diketahui dari mana dia. Contohlah kisah ini, niscaya engkau akan mendapat petunjuk." [13]

MUTIARA HIKMAH AS - SALAFUSHSHALIH

· Umar ibn Abdul Aziz mengatakan, "Tidak ada tanah yang lebih ringan untuk aku pecahkan, tidak ada kitab yang lebih mudah untuk aku bantah daripada sebuah kitab yang berisi keputusan yang telah aku putuskan kemudian aku melihat kebenaran menyelisihinya maka aku pun segera menghapusnya." [14]

· Al-Imam asy-Syafi'i berkata, "Setiap permasalahan yang telah aku bicarakan kemudian datang hadits yang shahih dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم menurut para ahlinya yang menyelisihi apa yang telah aku katakan, maka aku kembali dari kesalahan tersebut di dalam hidupku dan setelah matiku." [15]

· Al-Imam Ibnu Rajab berkata, "Para ulama salaf yang telah disepakati keilmuan dan keutamaannya, mereka akan menerima kebenaran yang dibawakan kepada mereka sekalipun orang yang membawanya masih kecil. Mereka selalu memberikan wasiat kepada para sahabat dan pengikut mereka untuk menerima kebenaran jika telah jelas kebenaran pendapat orang lain." [16]

· Ar-Raghib al-Asfahani mengatakan, "Sombong adalah keadaan seseorang yang merasa bangga dengan dirinya sendiri. Memandang dirinya lebih besar dari yang lain. Kesombongan yang paling parah adalah sombong kepada Rabbnya dengan menolak kebenaran dan angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik berupa ketaatan maupun dalam mengesakan-Nya." [17]

· Al-Imam Hasan al-Bashri berkata, "Sungguh sangat mengherankan seorang anak Adam, ia mencuci kotorannya sekali atau dua kali dalam sehari tetapi berani sombong di hadapan penguasa langit dan bumi!" [18] []



[1] Majmu’ Fatawa 10/88.

[2] HR Muslim: 2749.

[3] HR Muslim: 91.

[4] Syarh Riyadhush Shalihin 3/537, Madar al-Wathan.

[5] HR Muslim: 91.

[6] Jami'ul 'Ulum wal Hikam 2/275.

[7] HR at-Tirmidzi: 2499, Ibnu Majah: 4251, ad-Darimi: 2783. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan dalam al-Misykah No. 2341.

[8] Tafsir al-Qayyim hlm. 320.

[9] Tafsir ath-Thabari 19/123.

[10] HR al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 10/204, Sunanad-Daraquthni 4/206. Lihat pula I'lamul Muwaqqi'in 2/85-183.

[11] Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari hlm. 50, Ibnu Asakir.

[12] Al-Maudhu'at , Ibnul Jauzi, 1/245.

[13] Ahkam al-Qur'an , Ibnul 'Arabi, 1/249.

[14] Tarikh Dimasyq 45/194.

[15] Tawalli at-Ta'sis hlm. 108.

[16] Al-Farqu Baina an-Nashihah wat Ta'yir hlm. 10.

[17] Fathul Bari 10/601, lihat pula 'Umdatul Qari 22/140.

[18] Fathul Mannan fi Shifat 'Ibadirrahman hlm. 14.

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter