1. Islam
Ini terhitung sebagai syarat kewajiban menurut madzhab Hanafi, tapi terhitung sebagai syarat sah menurut jumhur. Jadi, puasa tidak wajib atas orang kafir, dan dia tidak dituntut mengqadhanya, menurut kelompok pertama. Sedang menurut kelompok kedua, puasa tidak sah sama sekali dari orang kafir meskipun dia murtad, dan dia pun tidak wajib mengqadhanya.Jika seorang kafir masuk Islam pada bulan Ramadhan, dia harus berpuasa pada hari-hari berikutnya, dan tidak harus mengqadha puasa pada hari-hari sebelumnya. Hal ini disepakati semua ulama, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu…“‘ (al-Anfaal: 38)
Jika seorang kafir masuk Islam pada siang hari, dia harus –menurut madzhab Hambali– menghindari segala pembatal puasa pada sisa hari tersebut, dan dia pun mesti mengqadha puasa hari itu. Sebab, dia telah mendapatkan sebagian dari waktu ibadah, maka ibadah tersebut menjadi tanggungannya, sama seperti jika dia mendapatkan sebagian dari waktu shalat.
Sedangkan menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, disunnahkan baginya menghindari makan, demi menghormati kemuliaan waktu dengan cara bertindak seperti tindakan orang-orang yang sedang berpuasa. Di samping itu, dia pun disunnahkan mengqadha (menurut madzhab Maliki), tapi tidak harus (menurut madzhab Hanafi).
Menurut yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i, dia tidak harus mengqadha, sebab dia tidak mendapatkan waktu yang mencukupi untuk melaksanakan ibadah. Menurut yang paling shahih, dia juga tidak harus menghindari hal-hal pembatal puasa pada sisa hari tersebut, sebab dia tidak berpuasa pada hari itu karena uzur. Maka, statusnya seperti musafir dan orang sakit.
Namun, jika seorang murtad masuk Islam, dia wajib –menurut madzhab Syafi’i dan Hambali– mengqadha ibadah yang ditinggalkannya selama dia kafir. Sebab, dia telah berkewajiban menunaikannya ketika dia masih memeluk Islam, dan kewajiban ini tidak gugur hanya gara-gara dia murtad, sama seperti hak-hak manusiawi.
2. Baligh dan Berakal
Puasa tidak wajib atas anak kecil, orang gila, orang pingsan, dan orang mabuk, sebab khithab taklifi tidak tertuju kepada mereka akibat tidak adanya kelayakan untuk berpuasa pada diri mereka. Hal ini dipahami dari sabda Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam,“Hukum tidak berlaku atas tiga orang: anak kecil hingga dia balig, orang gila hingga dia waras, dan orang tidur hingga dia bangun.”
Jadi, barangsiapa hilang akalnya, maka dia tidak terkena kewajiban puasa pada saat akalnya masih hilang. Puasa tidak sah dilakukan oleh orang gila, orang pingsan, dan orang mabuk, sebab orang seperti ini tidak mungkin melakukan niat.
Puasa sah dilakukan oleh anak kecil (laki-laki maupun perempuan) yang mumayiz, sama seperti shalat. Menurut madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali, walinya wajib menyuruhnya berpuasa apabila dia sudah mampu berpuasa setelah dia mencapai umur tujuh tahun, dan wali pun wajib memukulnya jika dia meninggalkan puasa setelah dia berusia sepuluh tahun (demikian itu agar anak tersebut terbiasa melakukan puasa). Sama seperti shalat, hanya saja karena puasa lebih berat, maka kemampuan menjadi syarat di sini. Sebab, terkadang seseorang yang tidak mampu berpuasa mampu menunaikan shalat.
Sedangkan menurut madzhab Maliki, anak kecil tidak diperintahkan berpuasa, berbeda dengan shalat. Jadi, tidak ada kewajiban puasa atas anak-anak hingga dia mengalami mimpi basah (jika dia laki-laki) atau haid (jika dia perempuan). Dengan mencapai usia balig, mereka mesti mengerjakan amal-amal badaniah sebagai suatu kewajiban.
Tidak wajibnya puasa atas musafir, persyaratannya sama dengan perjalanan yang membolehkan untuk mengqashar shalat.
Baca juga Tanda-tanda Baligh
3. Kemampuan (sehat, tidak sakit) dan Bermukim
Puasa tidak wajib atas orang sakit dan musafir. Ada ijma’ bahwa mereka wajib mengqadha jika tidak berpuasa. Jika keduanya berpuasa, puasanya sah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 184)
Jika seorang musafir telah tiba di kampung halamannya, dia harus menghindari makan dan minum pada sisa hari kedatangannya itu, sama seperti jika wanita yang haid menjadi suci pada siang hari.
Puasa juga tidak wajib atas orang yang tidak sanggup melakukannya lantaran usianya sudah tua, juga tidak wajib atas wanita yang haid karena –secara hukum syariat– dia tidak mampu melakukan puasa, juga tidak wajib atas wanita hamil atau menyusui karena –secara fisik– mereka tidak mampu berpuasa.
Untuk tidak wajibnya puasa atas musafir, disyaratkan perjalanannya adalah perjalanan yang membolehkan untuk mengqashar shalat, serta perjalanan itu (menurut jumhur, selain madzhab Hanafi) harus perjalanan yang mubah sebab hukum rukhshah (keringanan) tidak bisa diberikan kepada kegiatan maksiat. Namun, madzhab Hanafi tidak mensyaratkan perjalanan itu harus mubah. Sebab, faktor yang membolehkan untuk mengambil rukhshah (yaitu perjalanan) sudah ada; serta perjalanan itu (menurut jumhur, selain madzhab Hambali) dimulai sebelum fajar.
Jadi, kalau seorang yang mukim sudah mulai berpuasa pada pagi hari kemudian dia melakukan perjalanan, dia tidak boleh membatalkan puasanya. Sebab, puasa ini adalah ibadah yang telah berisi aspek mukim dan perjalanan, maka yang lebih unggul adalah aspek mukimnya, karena dialah yang asli. Akan tetapi jika pada pagi hari dia sudah mulai berpuasa kemudian dia sakit, dia boleh membatalkan puasanya karena ada faktor yang membolehkan untuk tidak berpuasa. Seandainya musafir sudah bermukim dan orang sakit telah sembuh, haram bagi mereka membatalkan puasa.
Madzhab Hambali tidak memberlakukan syarat ini. Akan tetapi, bagi orang yang melakukan perjalanan pada siang hari dan dia sudah berniat untuk berpuasa pada hari itu, lebih afdhal untuk meneruskan puasanya, demi menghindari perbedaan pendapat pihak yang tidak membolehkannya membatalkan puasa, dengan alasan bahwa hukum mukim lebih unggul, sama seperti shalat.
Madzhab Hanafi menambahkan satu syarat lain untuk wajibnya puasa, dan ini dipahami secara implisit dari kaidah ushul fiqih mereka, yaitu syarat mengetahui wajibnya puasa bagi orang yang masuk Islam di darul harbi, atau berada di darul Islam bagi orang yang dibesarkan di sana.*/Dikutip dari buku Fiqih Islam karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili.
Baca juga Macam-macam Puasa
Referensi: http://hidayatullah.com
Posting Komentar
Posting Komentar