Syarat Sah Puasa

Syarat Sah Puasa. Para fuqaha sepakat atas pensyaratan niat dan suci dari haid dan nifas dalam seluruh siang saat menjalani puasa.

GUNA melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan 1436 H nanti, ada baiknya kita mengetahui beberapa ketentuan pelaksanaan puasa guna kesempurnaan ibadah yang kita lakukan. Beberapa ketentuan tersebut berkaitan dengan syarat sah berpuasa.

Madzhab Hanafi menetapkan tiga syarat untuk sahnya puasa, antara lain niat, kosong dari perkara yang menafikan puasa (haid dan nifas), dan kosong dari perkara yang membatalkannya. Jika wanita mengalami haid, puasanya batal dan dia harus mengqadha.

Madzhab Maliki menetapkan empat syarat: niat, suci dari haid dan nifas, beragama Islam, dan waktu yang boleh untuk diisi dengan puasa (puasa tidak sah pada hari Raya Id). Mereka juga mensyaratkan berakal. Puasa tidak sah dilakukan oleh orang gila atau orang pingsan. Kedua kelompok ini tidak wajib untuk berpuasa.

Madzhab Syafi`i juga menetapkan empat syarat: beragama Islam, berakal, suci dari haid dan nifas pada keseluruhan siang, dan waktunya boleh diisi dengan puasa. Jadi, tidak sah puasanya orang kafir, orang gila, anak kecil yang belum mumayiz, dan wanita yang mengalami haid atau nifas. Adapun niat adalah rukun menurut mereka.

Madzhab Hambali menetapkan tiga syarat: beragama Islam, niat, dan suci dari haid dan nifas.

Dari paparan ini tampak para fuqaha sepakat atas pensyaratan niat dan suci dari haid dan nifas dalam seluruh siang. Ada pun beragama Islam adalah syarat sah menurut jumhur, dan menurut madzhab Hanafi merupakan syarat wajib.

Syarat Sah Puasa

Syarat Suci

Para fuqaha sepakat bahwa tidak disyaratkan suci dari junub, sampai kondisi junub itu dapat dihilangkan. Alasannya, karena junub itu terjadi pada malam hari sementara siang keburu datang; juga karena Aisyah dan Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dulu pernah berada dalam keadaan junub pada waktu subuh akibat jimak, bukan mimpi. Kemudian beliau berpuasa; dan hal itu terjadi di bulan Ramadhan.

Ummu Salamah juga berkata bahwa pada suatu subuh Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah berada dalam keadaan junub akibat jimak, bukan mimpi, kemudian beliau tidak membatalkan puasa dan tidak menggadhanya. Jadi, jika seseorang di waktu subuh dalam keadaan junub dan belum bersuci, atau seorang wanita yang sedang haid menjadi suci sebelum terbit fajar, dan keduanya baru mandi setelah terbit fajar, maka puasa mereka pada hari itu sah.

Tentang Niat

Niat artinya kesengajaan, yaitu kepastian atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu tanpa kebimbangan. Yang dimaksud dengan niat di sini adalah kesengajaan untuk berpuasa. Jadi, asalkan sudah terbetik di dalam hati seseorang pada malam hari bahwa besok adalah bulan Ramadhan dan bahwa dia akan berpuasa, berarti dia telah berniat.

Para fuqaha sepakat bahwa niat harus ada dalam semua jenis puasa, baik puasa wajib maupun sunnah, entah ia dihitung sebagai syarat ataupun rukun. Perlu diketahui bahwa syarat adalah perkara yang berada di luar hakikat sesuatu, sedangkan rukun (menurut madzhab Hanafi) adalah perkara yang merupakan bagian dari hakikat sesuatu. Keharusan adanya niat dalam puasa ini didasarkan atas sabda Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam,

Semua amal bergantung kepada niat.” (Muttafaq ‘alahi dari Umar)

Juga, sabda beliau,

Barangsiapa tidak meniatkan puasa sebelum terbit fajar, maka puasanya tidak sah.” (Diriwayatkan Ahmad dan empat penulis kitab Sunan dari Hafshah)

Juga, sabda beliau yang diriwayatkan oleh Aisyah,

Barangsiapa tidak meniatkan puasa sebelum terbit fajar, maka puasanya tidak sah.” (Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni)

Puasa memang merupakan ibadah mahdhah, sehingga memerlukan niat, sama seperti shalat.

Madzhab Hanafi, Hambali, dan Maliki (menurut pendapat yang rajih) menganggap niat sebagai syarat, karena puasa Ramadhan dan puasa lainnya adalah ibadah, dan ibadah adalah nama perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia atas ikhtiar (kehendak hati)nya secara tulus ikhlas kepada Allah untuk menjalankan perintah-Nya. Sementara, ikhtiar dan keikhlasan ini tidak dapat terwujud tanpa niat. Maka dari itu, pelaksanaan puasa tidak sah kecuali dengan niat, agar berbeda antara amal ibadah dan kebiasaan.

Namun madzhab Syafi`i menganggap niat sebagai rukun, sama seperti menjauhi hal-hal pembatal puasa.

Tempat niat adalah hati. Niat tidak cukup hanya diucapkan dengan lidah, dan tidak disyaratkan bahwa ia harus diucapkan. Akan tetapi, jumhur (selain madzhab Maliki) berpendapat bahwa disunnahkan mengucapkan niat, sedangkan madzhab Maliki berpendapat bahwa lebih baik niat tidak diucapkan.*/Dari buku Fiqih Islam karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili.

Baca juga Macam-macam Puasa

Referensi: www.hidayatullah.com

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter