Benang Tipis Kemudahan

TEKS HADITS

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

Dari Ibnu Umar رضي الله عنها, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan)-Nya dimanfaatkan sebagaimana Allah tidak suka jika kemaksiatan dilaksanakan." (HR Ahmad no. 5866, shahih)

Rukhshah dalam bahasa Arab bermakna kelembutan, kelapangan, dan kemudahan. Sementara itu, dalam bahasa para ulama, rukhshah atau keringanan memiliki dua pengertian:

Pertama : Keringanan hukum yang diberikan oleh syari'at. Inilah pengertian rukhshah yang dimaksudkan dalam hadits di atas.

Al-Kafawi, dalam al-Kulliyat 2/379, berkata bahwa rukhshah secara syari'at adalah ketentuan syari'at yang diubah dari ketentuan aslinya menjadi lebih mudah dan lebih ringan karena suatu sebab.

Ada juga yang mendefinisikan dengan "dibolehkannya suatu hal yang terlarang padahal sebenarnya ada unsur terlarang di dalamnya" atau "ketentuan hukum yang menyelisihi dalam syari'at karena adanya suatu faktor yang mengharuskan adanya perubahan ketentuan hukum".

Dalam Mudzakkirah fi Ilmi al-Ushul hlm. 50, Syaikh Syinqithi رحمه الله menjelaskan, "Contohnya adalah dibolehkannya mengkonsumsi bangkai untuk orang yang dalam kondisi terpaksa. Dalam hal ini ada hal terlarang yang diperbolehkan yaitu memakan bangkai padahal ada unsur terlarang di dalamnya yaitu buruknya bangkai yang merupakan sebab diharamkannya bangkai. Di samping itu hukum ini menyelisihi dalil syar'i yang mengharamkan bangkai karena adanya faktor yang mengharuskan adanya perubahan hukum yaitu berbagai dalil syari'at yang membolehkan makan bangkai bagi orang yang terpaksa."

Kedua: Rukhshah dalam pengertian hukum yang ringan dan mudah yang difatwakan oleh sebagian ulama fiqih dan hukum tersebut jelas bertentang-an dengan ijma' atau dalil tegas dari al-Qur'an dan Sunnah.

Rukhshah dalam pengertian semacam ini disebut juga zallah 'alim (ketergelinciran ulama) dan qaul syadz (pendapat yang nyeleneh).

Rukhshah dalam pengertian kedua ini tidaklah dimaksudkan dalam hadits di atas.

Adapun azimah dalam bahasa Arab bermakna tekad yang membaja. Dalam syari'at, azimah adalah hukum baku dalam suatu permasalahan semisal thaharah (bersuci) dengan wudhu dan mandi bukan tayamum, mengqashar shalat ketika bepergian, terlarangnya memakan bangkai, dan seterusnya.

PEMAHAMAN YANG SALAH

Sebagian orang nekad melakukan hal-hal yang hukumnya haram atau meninggalkan sebuah kewajiban dengan adanya ulama yang berfatwa membolehkannya dan tindakan semacam ini dianggap melaksanakan hadits di atas yang memerintahkan untuk memanfaatkan rukhshah padahal orang tersebut sadar adanya dalil tegas syari'at yang menyelisihi fatwa sang kiai atau ustadz tersebut.

Penyebab penyimpangan orang semacam ini adalah tidak bisa membedakan dua jenis keringanan di atas dan manakah yang dimaksudkan oleh hadits di atas. Orang semacam ini punya hobi memilih pendapat yang paling mudah dan gampang mereka lakukan tanpa bersandar kepada dalil namun sekadar membebek ketergelinciran ulama yang mereka, para ulama, tersebut andai mengetahui bahwa pendapat yang mereka ambil menyelisihi dalil maka mereka akan meralat pendapatnya tanpa bimbang dan ragu.

Orang dengan tipikal semacam ini jika diingatkan bahwa hal yang dia lakukan itu melanggar syari'at maka dia akan beralasan bahwa hukum semacam itu tidaklah berasal dari diri mereka, namun ada ulama yang berfatwa membolehkan hal tersebut. Dia memegang prinsip bahwa orang yang dia ikuti pendapatnyalah yang bertanggung jawab, sedangkan orang yang membebek sang ulama tidaklah bertanggung jawab. Sang ulamalah yang bertanggung jawab atas fatwanya baik fatwa tersebut adalah fatwa yang benar atau-pun fatwa yang salah. Dia mengira bahwa adanya fatwa dan pendapat ulama itu bisa menjadi argumen yang menyelamatkannya pada hari Kiamat saat dimintai pertanggungjawaban atas semua amal perbuatannya ketika di dunia.

Memilih pendapat ulama yang enak-enak dan yang mudah-mudah saja itu memiliki banyak dampak buruk di antaranya:

Pertama: Hilangnya wibawa agama karena hukum agama menjadi bahan mainan banyak orang.

Kedua: Meremehkan kehormatan svari'at dan ba-tasannya.

Ketiga: Lepas dari ikatan agama dikarenakan prinsip beragama yang dianut bukan mengikuti dalil namun mengikuti perselisihan ulama.

Keempat: Menyepelekan agama karena dengan prinsip di atas maka semua orang bisa berbuat sesuka hatinya.

Kelima: Meninggalkan suatu hal yang diketahui sebagai bagian dari syari'at dan memilih suatu yang tidak jelas statusnya dalam syari'at.

Keenam: Menyebabkan terjadinya talfy (men-campuradukkan pendapat ulama) bukan karena tuntutan dalil syari'at.

Orang vang suka mencari-cari pendapat yang lemah, sebenarnya dalam lubuk hatinya yang paling dalam mengetahui bahwa dirinya itu mengikuti keinginan nafsu dan sadar bahwa dirinya melanggar aturan syari'at namun dia nekad mencari kedok yang bisa menutupi kemaksiatan yang dia lakukan dan menyelamatkan dirinya dari celaan banyak orang atas kelakuannya.

Suatu hal yang patut disadari bahwa seluruh ulama sepakat akan keharaman tindakan suka mencari-cari pendapat ulama yang enak-enak dan melakukan talfiq bukan karena tuntutan dalil syari'at. Sulaiman at-Taimi رحمه الله mengatakan, "Jika Anda ambil pendapat yang dirasa enak dan gampang yang dimiliki oleh semua ulama, niscaya akan terkumpul dalam diri Anda segala kejelekan."

Perkatan Sulaiman at-Taimi di atas dikomentari oleh Ibnu Abdil Barr al-Maliki رحمه الله dalam al-Jami' fi Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi 2/91 dan 92 dengan mengatakan, "Ini adalah kesepakatan ulama. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini."[]

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter