Tafsir Ibnu Katsir: Surat Al-Fatihah Bag 8

Al-Fatihah, ayat 3

الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (3)
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Firman Allah Swt., "ar-rahmanir rahim," keterangannya dikemukakan dalam Bab "Basmalah"; itu sudah cukup dan tidak perlu diulangi lagi.

Al-Qurtubi mengatakan, sesungguhnya Allah Swt. menyifati diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim sesudah firman-nya, "rabbil 'alamina, " tiada lain agar makna tarhib yang dikandung rabbul 'alamina dibarengi dengan makna targib yang terkandung pada ar-rahmanir rahim, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

نَبِّئْ عِبادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ. وَأَنَّ عَذابِي هُوَ الْعَذابُ الْأَلِيمُ
Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (Al-Hijr: 49-50)

Juga dalam firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu:

إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-A'raf: 165)

Lafaz Rabb (Tuhan) dalam ayat tersebut mengandung makna tarhib, sedangkan ar-rahmanir rahim mengandung makna targib.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنَ العقوبة ما طمع في جنته أَحَدٌ وَلَوْ يُعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللَّهِ من الرحمة ما قنط من رحمته  أحد»
Seandainya orang yang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa siksaan, niscaya tiada seorang pun yang tamak menginginkan surga-Nya. Seandainya orang kafir mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa rahmat, niscaya tiada seorang pun yang berputus asa dari rahmat-Nya.

Al-Fatihah, ayat 4

{مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) }
Yang Menguasai hari pembalasan.

Sebagian ulama qiraah membacanya مَلِك, sedangkan sebagian yang lain membacanya مَالِكِ; kedua-duanya sahih lagi mutawatir di kalangan As-Sab'ah.

Lafaz maliki dengan huruf lam di-kasrah-kan, ada yang membacanya malki dan maliki. Sedangkan menurut bacaan Nafi', harakat kasrah huruf kaf dibaca isyba' hingga menjadi malaki yaumid din (مَلَكِي يَوْمِ الدِّينِ).

Kedua bacaan tersebut (malaki dan maliki) masing-masing mempunyai pendukungnya tersendiri ditinjau dari segi maknanya; kedua bacaan tersebut sahih lagi baik. Sedangkan Az-Zamakhsyari lebih menguatkan bacaan maliki, mengingat bacaan inilah yang dipakai oleh ulama kedua Kota Suci (Mekah dan Madinah), dan karena firman-Nya

لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ
Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? (Al-Mu’min: 16)

قَوْلُهُ الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ
Dan benarlah perkataan-Nya dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala sesuatu (Al-An'am: 75)

Telah diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia membaca malaka yaumidin (مَلَكَ يوم الدين) atas dasar anggapan fi’il, fa’il, dan maful, tetapi pendapat ini menyendiri lagi aneh sekali.

Abu Bakar ibnu Abu Daud meriwayatkan —sehubungan dengan bacaan tersebut— sesuatu yang garib (aneh), mengingat dia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Addi ib-aul Fadl. dari Abul Mutarrif, dari Ibnu Syihab yang telah mendengar hadits bahwa Rasulullah Saw., Abu Bakar. Umar, dan Usman serta Mu'awiyah dan anaknya —yaitu Yazid ibnu Mu'awiyah— membaca maaliki yaumid din. Ibnu Syihab mengatakan bahwa orang yang mula-mula membaca maliki adalah Marwan (Ibnul Hakam). Menurut kami, Marwan mengetahui kesahihan apa yang ia baca, sedangkan hal ini tidak diketahui oleh Ibnu Syihab.

Telah diriwayarkan sebuah hadis melalui berbagai jalur periwayatan yang diketengahkan oleh Ibnu Murdawaih, bahwa Rasulullah Saw. membacanya maliki yaumid din. Lafaz malik diambil dari kata al-milku, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نَرِثُ الْأَرْضَ وَمَنْ عَلَيْها وَإِلَيْنا يُرْجَعُونَ
Sesungguhnya Kami memiliki bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kami-lah mereka dikembalikan. (Maryam: 40)

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ
Katakanlah,  "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Pemilik manusia. (An-Nas: 1-2)

Sedangkan kalau maliki diambil dari kata al-mulku, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ
Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)

قَوْلُهُ الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ
Benarlah perkataan-Nya. dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala kekuasaan. (Al-An'am: 73)

الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمنِ وَكانَ يَوْماً عَلَى الْكافِرِينَ عَسِيراً
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang kafir. (Al-Furqan: 26)

Pengkhususan sebutan al-mulku (kerajaan) dengan yaumid din (hari pembalasan) tidak bertentangan dengan makna lainnya, mengingat dalam pembahasan sebelumnya telah diterangkan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, yang pengertiannya umum mencakup di dunia dan akhirat. Di-mudaf-kan kepada lafaz yaumid din karena tiada seorang pun pada hari itu yang mendakwakan sesuatu, dan tiada seorang pun yang dapat angkat bicara kecuali dengan seizin Allah Swt, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya:

يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقالَ صَواباً
Pada hari ketika roh dan malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata. kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (An-Naba': 38)

وَخَشَعَتِ الْأَصْواتُ لِلرَّحْمنِ فَلا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْساً
dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja. (Thaha: 108)

يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ
Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya. maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. (Hud: 105)

Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa maliki yaumid din artinya "tiada seorang pun bersama-Nya yang memiliki kekuasaan seperti halnya di saat mereka (raja-raja) masih hidup di dunia pada hari pembalasan tersebut".

Ibnu Abbas mengatakan, yaumid din adalah hari semua makhluk menjalani hisab, yaitu hari kiamat; Allah membalas mereka sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing. Jika amal perbuatannya baik, balasannya baik; dan jika amal perbuatannya buruk, maka balas-annya pun buruk, kecuali orang yang mendapat ampunan dari Allah Swt. Hal yang sama dikatakan pula oleh selain Ibnu Abbas dari kalangan para sahabat, para tabi'in, dan ulama Salaf; hal ini sudah jelas.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari sebagian mereka bahwa tafsir dari firman-Nya, "Maliki yaumid din," ialah "Allah Mahakuasa untuk mengadakannya". Tetapi Ibnu Jarir sendiri menilai pendapat ini daif (lemah). Akan tetapi, pada lahiriahnya tidak ada pertentangan antara pendapat ini dengan pendapat lainnya yang telah disebutkan terdahulu. Masing-masing orang yang berpendapat demikian dan yang sebelumnya mengakui kebenaran pendapat lainnya serta tidak mengingkari kebenarannya, hanya saja konteks ayat lebih sesuai bila diartikan dengan makna pertama di atas tadi dibandingkan dengan pendapat yang sekarang ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:

{الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا}
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang kafir. (Al-Furqan: 26)

Sedangkan pendapat kedua pengertiannya mirip dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

{وَيَوْمَ يَقُولُ كُنْ فَيَكُونُ}
Pada hari Dia mengatakan, "Jadilah!, lalu terjadilah. (Al-An'am: 73)

Pada hakikatnya raja yang sesungguhnya adalah Allah Swt., seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera. (Al-Hasyr: 23)

Di dalam hadis Sahihain disebutkan melalui Abu Hurairah r.a. secara marfu’:

«أَخْنَعُ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى بِمَلِكِ الْأَمْلَاكِ وَلَا مَالِكَ إِلَّا اللَّهُ  »
Nama yang paling rendah di sisi Allah ialah seorang yang menamakan dirinya dengan panggilan Malikid Amlak. sedangkan tiada raja selain Allah.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa Rasulullah Saw. Bersabda

«يَقْبِضُ اللَّهُ الْأَرْضَ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ ملوك الْأَرْضِ؟ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟ »
Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman, "Aku-lah Raja. Sekarang mana raja-raja bumi, mana orang-orang yang diktator, mana orang-orang yang angkuh?"

Di dalam Al-Qur'an disebutkan melalui firman-Nya:

لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ
Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)

Adapun mengenai nama lainnya di dunia ini dengan memakai sebutan malik, yang dimaksud adalah "nama majaz". bukan nama dalam arti yang sesungguhnya, sebagaimana yang dimaksud di dalam firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طالُوتَ مَلِكاً
Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi raja kalian. (Al-Baqarah: 247)

وَكانَ وَراءَهُمْ مَلِكٌ
karena di hadapan mereka ada seorang raja. (Al-Kahfi: 79)

إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِياءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكاً
ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian sebagai raja-raja (orang-orang yang merdeka). (Al-Maidah: 20)

Di dalam sebuah hadis Sahihain disebutkan:

«مِثْلُ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ»
seperti raja-raja yang berada di atas dipan-dipannya (singgasana).

Ad-din artinya "pembalasan dan hisab", sebagaimana yang disebut di dalam firman lainnya, yaitu:

يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ
Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. (An-Nur: 25)

أَإِنَّا لَمَدِينُونَ
apakah  sesungguhnya  kita  benar-benar  (akan  dibangkitkan) untuk diberi pembalasan? (Ash-Shaffat: 53)

Makna yang dimaksud ialah mendapat balasan yang setimpal dan dihisab.

Di dalam sebuah hadis disebutkan:

«الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ»
Orang yang pandai ialah orang yang melakukan perhitungan terhadap dirinya sendiri dan beramal untuk bekal sesudah mati.

Makna yang dimaksud ialah "hisablah dirimu sendiri", sebagaimana yang dikatakan Khalifah Umar r.a.. yaitu: "Hisablah diri kalian sendiri sebelum dihisab dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum ditimbang, dan bersiap-siaplah (berbekallah) untuk menghadapi peradilan yang paling besar di hadapan Tuhan yang tidak samar bagi-Nya semua amal perbuatan kalian," seperti yang dinyatakan di dalam Firman-Nya:

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفى مِنْكُمْ خافِيَةٌ
Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian). Tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi-Nya). (Al-Haqqah: 18)

Al-Fatihah, ayat 5

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) }
Hanya EngkaulahYangKami sembah dan  hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

Qira’ah Sab'ah dan jumhur ulama membaca tasydid huruf ya yang ada pada iyyaka. Sedangkan Amr ibnu Fayid membacanya dengan takhfif, yakni tanpa tasydid disertai dengan kasrah, tetapi qiraah ini dinilai syadz lagi tidak dipakai. karena iya artinya "cahaya matahari". Sebagian ulama membacanya ayyaka, sebagian yang lainnya lagi membaca hayyaka dengan memakai ha sebagai ganti hamzah, sebagaimana yang terdapat dalam ucapan seorang penyair:

فَهَيَّاكَ وَالْأَمْرَ الَّذِي إِنْ تَرَاحَبَتْ ... مَوَارِدُهُ ضَاقَتْ عَلَيْكَ مَصَادِرُهُ
Maka hati-hatilah kamu terhadap sebuah urusan bila sumbernya makin meluas, maka akan sulitlah bagimu jalan penyelesaiannya.
Lafaz nasta'inu dibaca fathah huruf nun yang ada pada permulaannya menurut qiraah semua ulama, kecuali Yahya ibnu Sabit dan Al-A'masy; karena keduanya membacanya kasrah, seperti yang dilakukan oleh Bani Asad, Bani Rabi'ah, dan Bani Tamim.

Al-'ibadah menurut istilah bahasa berasal dari makna az-zullah, artinya "mudah dan taat"; dikatakan tariqun mu'abbadun artinya "jalan yang telah dimudahkan (telah diaspal)" dan ba'irun mu'abbadun artinya "unta yang telah dijinakkan dan mudah dinaiki (tidak liar)". Sedangkan menurut istilah syara' yaitu "suatu ungkapan yang menunjukkan suatu sikap sebagai hasil dari himpunan kesempurnaan rasa cinta, tunduk, dan takut".

Mafid —yakni lafaz iyyaka— didahulukan dan diulangi untuk menunjukkan makna perhatian dan pembatasan. Dengan kata lain, kami tidak menyembah kecuali hanya kepada Engkau dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada Engkau. Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Agama secara keseluruhan berpangkal dari kedua makna ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, bahwa surat Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur'an; sedangkan rahasia surat Al-Fatihah terletak pada kedua kalimat ini, yakni iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu.

Lafaz iyyaka na'budu menunjukkan makna berlepas diri dari segala kemusyrikan, sedangkan iyyaka nasta'inu menunjukkan makna berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta berserah diri kepada Allah Swt. sepenuhnya. Pengertian ini selain dalam surat Al-Fatihah terdapat pula di dalam firman-Nya:

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَما رَبُّكَ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhan kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan. (Hud: 123)

قُلْ هُوَ الرَّحْمنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنا
Katakanlah.”Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal." (Al-Mulk 29)

رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
(Dialah) Tuhan masyrik dan magrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. (Al-Muzzammil: 9)

Demikian pula ayat yang sedang kita bahas tafsirnya, yaitu:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)

Pembicaraan berubah dari bentuk gaibah kepada bentuk muwajahah melalui huruf kaf yang menunjukkan makna khitab (lawan bicara). Ungkapan ini lebih sesuai, mengingat kedudukannya dalam keadaan memuji Allah Swt., maka seakan-akan orang yang bersangkutan mendekat dan hadir di hadapan Allah Swt. Karena itu, ia mengatakan:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)

Pembahasan yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa permulaan surat Al-Fatihah merupakan berita dari Allah Swt. yang memuji diri-Nya sendiri dengan sifat-sifat-Nya yang terbaik, sekaligus sebagai petunjuk buat hamba-hamba-Nya agar mereka memuji-Nya melalui kalimat-kalimat tersebut. Karena itu, tidaklah sah salat seseorang yang tidak mengucapkan surat ini. sedangkan dia mampu membacanya. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ubadah ibnus Samit yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ»
Tidak ada salat (tidak sah salat) orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Al-Ala ibnu Abdur Rahman maula Al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«يقول اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ إِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ اللَّهُ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»
Allah Swt. berfirman, "Aku bagikan salat buat diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian; satu bagian untuk-Ku dan sebagian yang lain untuk hamba-Ku. dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta." Apabila seorang hamba mengatakan, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." Apabila dia mengatakan, "Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.”Apabila dia mengatakan, "Yang menguasai hari pembalasan," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.”Apabila dia mengatakan, "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan," maka Allah berfirman, "Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi kamba-Ku apa yang dia minta." Apabila dia mengatakan, "Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah: Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan) mereka yang sesat, maka Allah berfirman. Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hambaku apa yang dia minta.

Dahak mengatakan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa makna iyyaka na’budu ialah "Engkaulah Yang kami Esakan. Hanya kepada Engkaulah kami takut dan berharap, wahai Tuhan kami, bukan kepada selain Engkau"; Wa iyyaka nasta'inu maknanya "dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan untuk taat kepada-Mu dalam semua urusan kami".

Qatadah mengatakan, makna iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu ialah "Allah memerintahkan kepada kalian agar ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan kalian". Sesungguhnya lafaz iyyaka na'budu didahulukan atas lafaz iyyaka nasta'inu tiada lain karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan utama, sedangkan meminta tolong merupakan sarana untuk melakukan ibadah, maka didahulukanlah hal yang lebih penting.

Apabila ada suatu pertanyaan, "Apakah makna nun dalam firman-Nya, 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu?" Jika makna yang dimaksud untuk jamak, ternyata yang berdoa hanya seorang; jika yang dimaksud sebagai ta'zim (menganggap diri besar), maka tidak sesuai dengan konteksnya.

Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah "menyampaikan berita tentang jenis dari hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang melakukan salat adalah salah seorang dari mereka; terlebih lagi jika dia berada dalam salat jamaah atau menjadi imam mereka, berarti sebagai berita tentang dirinya dan saudara-saudaranya yang mukmin bahwa mereka sedang melakukan ibadah yang merupakan tujuan utama mereka diciptakan, dan dia menjadi perantara bagi mereka untuk kebaikan".

Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan, boleh mengartikannya untuk tujuan ta'zim, dengan pengertian bahwa seakan-akan dikatakan kepada hamba yang bersangkutan, "Apabila kamu berada dalam ibadah, maka kamu adalah orang yang mulia dan kedudukanmu tinggi." Dia mengatakan:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)

Tetapi apabila kamu berada di luar ibadah, jangan sekali-kali kamu katakan 'kami', jangan pula kamu katakan 'kami telah melakukan', sekalipun kamu berada di tengah-tengah seratus, seribu, bahkan sejuta orang, karena semuanya berhajat dan membutuhkan Allah Swt.

Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa lafaz iyyaka na'budu mengandung makna lebih lembut daripada iyyaka 'abadna dalam hal berendah diri, mengingat lafaz kedua ini mengandung makna membesarkan diri karena dia menjadikan dirinya sebagai orang yang ahli melakukan ibadah. Padahal tiada seorang pun yang mampu beribadah kepada Allah Swt. dengan ibadah yang hakiki, tiada pula yang dapat memuji-Nya dengan pujian yang layak buat-Nya.

Ibadah merupakan suatu kedudukan yang besar, seorang hamba menjadi terhormat karena mengingat dirinya sedang berhubungan dengan Allah Swt. Salah seorang penyair mengatakan:

لَا تَدْعُنِي إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا ... فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِي
Jangan kamu panggil aku melainkan dengan julukan 'hai ham-baNya', karena sesungguhnya nama ini merupakan namaku yang terhormat.
Allah Swt. menamakan Rasul-Nya dengan sebutan 'hamba-Nya' dalam tempat yang paling mulia, yaitu di dalam firman-Nya:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلى عَبْدِهِ الْكِتابَ
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya. (Al-Kahfi: 1)

وَأَنَّهُ لَمَّا قامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
Dan bahwasanya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembahnya (Al-Jin: 19)

سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا
Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (Al-Isra: 1)

Dalam ayat-ayat tersebut Allah Swt. menamakannya dengan sebutan "hamba" di saat Dia menurunkan wahyu kepadanya, di saat dia berdiri dalam doanya, dan di saat dilakukan isra kepadanya. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya agar mengerjakan ibadah di saat-saat dia mengalami kesempitan dada karena orang-orang yang menentangnya mendustakannya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِما يَقُولُونَ. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ. وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (Al-Hijr. 97-99)

Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa kedudukan ubudiyyah lebih mulia daripada kedudukan risalah, mengingat keadaan ibadah timbul dari makhluk, ditujukan kepada Tuhan Yang Mahahak. Sedangkan kedudukan risalah datang dari Tuhan Yang Mahahak ditujukan kepada makhluk. Ar-Razi mengatakan pula, "Dikatakan demikian karena Allah-lah Yang memegang semua kemaslahatan hamba-Nya, sedangkan Rasul memegang kemaslahatan-kemaslahatan umatnya. Akan tetapi, pendapat ini keliru dan pengarahannya lemah, tidak ada hasilnya." Dalam hal ini Ar-Razi tidak menyebutkan penilaiannya terhadap kelemahan yang terkandung di dalamnya, tidak pula mengemukakan sanggahannya.

Sebagian ulama sufi mengatakan bahwa ibadah itu adakalanya untuk menghasilkan pahala atau untuk menolak siksa. Mereka mengatakan bahwa pendapat ini pun kurang tepat, mengingat tujuannya ialah untuk mengerjakan hal yang menghasilkan pahala. Bila dikatakan tujuan ibadah ialah untuk memuliakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh Allah Swt., pendapat ini pun menurut mereka (para ulama) dinilai lemah, bahkan pendapat yang benar ialah yang mengartikan "hendaknya seseorang beribadah kepada Allah untuk menyembah Zat-Nya Yang Mahasuci lagi Mahasempurna". Mereka beralasan bahwa karena itu seseorang yang salat mengucapkan niat salatnya, "Aku salat karena Allah." Seandainya salat diniatkan untuk mendapat pahala dan menolak siksaan, maka batallah salatnya.

Akan tetapi, pendapat mereka itu dibantah pula oleh ulama lain yang mengatakan bahwa keadaan ibadah yang dilakukan karena Allah Swt. bukan berarti pelakunya tidak boleh meminta pahala atau mohon terhindar dari azab melalui salatnya itu. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang Badui:

أَمَا إِنِّي لَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ إِنَّمَا أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ»
"Adapun aku. sesungguhnya aku tidak dapat melakukan dialek-mu, tidak pula dialek Mu'az; tetapi aku hanya memohon surga kepada Allah, dan aku berlindung kepada-Nya dari neraka." Maka Nabi Saw. menjawab, "Kami pun meminta hal yang sama."

Related Posts

1 komentar

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter