Bekal-Bekal Keimanan bagi Pengusaha Muslim


Pendahuluan

Iman dan amal adalah dua perkara prinsip yang saling terikat antara satu dan lainnya sebagaimana ruh dan jasad. Di dalam Al-Qur’an didapatkan lafazh iman yang dikaitkan dengan amal shalih lebih dari 200 kali penyebutan.

Hasan Al-Bashri rahimahullah mendefinisikan iman dengan “Apa yang telah menetap dalam hati manusia, kemudian dibenarkan dengan perbuatan.”

Al-Auza’i rahimahullah berkata: “Dahulu para ulama salaf (maksudnya para sahabat, pent) tidak membedakan (memisahkan) antara iman dan amal.” (Fathul Bari, karya Ibnu Hajar Al-Asqolani I/5).

Dengan demikian, iman merupakan faktor penting yang akan menggerakkan semua bentuk aktivitas manusia. Dari sini nampak adanya urgensi untuk menggabungkan antara iman dan amal shalih bagi para pengusaha muslim. Berikut ini kami akan sebutkan beberapa prinsip keimanan yang semestinya diketahui dan diamalkan oleh setiap pengusaha muslim.

Pertama:
Menghadirkan Niat yang Baik D alam Bekerja

Niat adalah ruh bagi setiap amal, inti dan pondasinya. Suatu amal akan selalu mengikutinya. Jika niatnya benar, maka amalnya pun benar. Jika rusak niatnya, maka amalnya juga akan rusak. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari I/3 no.1, dan Muslim III/1515 no.1907)

Hadits ini tidak terbatas pada masalah ibadah saja, akan tetapi ia juga mencakup bab muamalah dan lainnya. Semua amalan dapat berubah posisinya karena faktor niat, dianggap sebagai ibadah dan amal shalih yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla atau sebaliknya.

Maka jika seorang muslim bekerja dengan niat mencari rezeki di bidang pendidikan, pertanian, peternakan, perdagangan, industri, kesehatan, ketrampilan atau selainnya, maka aktivitasnya itu akan dinilai sebagai ibadah. Begitu pula jika tujuannya adalah untuk menjaga diri dari hal-hal yang haram, mencukupkan diri dengan hal-hal yang halal, dan untuk menafkahi keluarganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ

“Sesungguhnya engkau tidaklah memberikan suatu nafkah yang diharapkan dengannya wajah Allah semata melainkan engkau akan diberi pahala atasnya, sampaipun sesuap makanan yang engkau masukkan ke dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari I/30 no.56, dan Muslim III/1250 no.1628, dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu).

Oleh karena itu, Islam menganjurkan pengusaha muslim agar memiliki orientasi yang sama dalam masalah ibadah dan muamalah. Dan hal itu tidak mungkin bisa dilakukan jika ia tidak mengikhlaskan apa yang ia lakukan karena Allah Azza wa Jalla semata, membebaskan diri dari penghambaan terhadap nafsu syahwat, harta, perhiasan, jabatan serta kenikmatan dunia yang lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ

“Celaka para hamba dinar. Celaka para hamba dirham dan hamba pakaian. Jika ia diberi, maka ia merasa lega. Dan jika ia tidak diberi, maka ia menggerutu.” (HR. Bukhari III/1057 no.2730, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Kedua:
Meyakini Bahwa Harta Milik Allah,
Manusia Hanya Diberi Amanah

Seorang pengusaha muslim hendaknya meyakini bahwa harta benda adalah milik Allah Azza wa Jalla, sedangkan manusia hanya diberi amanah. Di samping itu pula, hendaknya ia menyadari betul bahwa harta hanyalah sebagai sarana, bukanlah tujuan. Dan untuk mendapatkan yang baik, maka menjadi keharusan baginya untuk mencarinya dari sumber yang halal, tidak menahan yang bukan haknya, tidak berbangga-bangga dengan kepemilikannya serta mengakui anugerah Allah padanya. Hendaklah harta yang dimilikinya bisa mengantarkannya untuk lebih mengenal akhirat dengan tanpa melupakan kenikmatan dunia.

Seorang pengusaha muslim harus menyadari bahwa harta yang ada di tangannya merupakan titipan dari Allah Azza wa Jalla yang harus ia kelola dengan baik dan benar sesuai ketentuan Sang Pemilik harta sesungguhnya. Dia adalah Allah, satu-satunya Raja dari segala raja, Pemilik dari segala pemilik. Karena semua harta yang ada padanya akan dimintai pertanggung-jawabannya pada hari kiamat kelak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Pada Hari Kiamat nanti kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser (dari hadapan Allah) sehingga ia dimintai pertanggung-jawaban tentang empat perkara: Usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.” (HR. At-Tirmidzi IV/612 no.2417 dari Abu Barzah Al-Aslami. Syaikh Al-Albani berkata: “Shahih”).

Ketiga:
Mengimani Takdir Allah Disertai Sikap
Selalu Bersyukur

Beriman kepada takdir Allah, baik ketentuan yang baik atau yang buruk, manis atau pahit merupakan pondasi dasar keimanan. Seorang pengusaha muslim wajib mengimani takdir Allah dengan keimanan yang kokoh, bahwa semua hal yang terjadi tidaklah akan meleset darinya. Dan semua bentuk manfaat dan bahaya telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dikisahkan bahwa suatu ketika dia naik kendaraan di belakang Rasulullah, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا غُلاَمُ إِنِّى أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ

“Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat. Jagalah Allah, maka Dia akan menjagamu. Jika engkau minta sesuatu, maka mintalah kepada Allah. Jika engkau minta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, bahwa jika semua umat berkumpul, kemudian mereka ingin memberimu manfaat, maka tidak akan ada manfaat sedikit pun kecuali apa yang telah tetapkan Allah untukmu. Dan jika umat semuanya berkumpul untuk mendatangkan bahaya kepadamu, maka tidak akan ada bahaya kecuali apa yang telah digariskan Allah untukmu. Pena (pencatat takdir, pent) telah diangkat dan buku catatan telah dikeringkan.” (HR. At-Titmidzi IV/667 no.2516 dan Ahmad I/307 no.2804)

Dengan demikian jika ada keuntungan dalam hartanya, maka seorang pengusaha muslim akan bersyukur. Ia tidak akan bergembira secara berlebihan. Allah Ta’ala berfirman:

لا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ

“Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.” (QS. Al-Qashash/28: 76)

Dan jika ia mengalami nasib sebaliknya, maka ia akan tetap sabar, ridha, dan tenang hatinya. Karena ia meyakini bahwa Allah tidaklah menetapkan sesuatu kecuali di dalamnya ada kemaslahatan. Allah menganugerahkan harta benda pada hamba yang Dia cintai dan hamba yang tidak Dia cintai. Dia juga mempersempit rezeki pada hamba yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai.

Dari Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh sangat menakjubkan urusan seorang mukmin. Semua urusannya ia anggap baik. Dan tidak akan terjadi seperti itu kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kelapangan, maka ia akan bersyukur. Dan itu yang terbaik baginya. Dan jika ia mengalami musibah, maka ia bersabar. Dan itu yang terbaik baginya.” (HR. Muslim IV/2295 no.2999)

Keempat:
Selalu Berusaha dan Bekerja untuk Mendapatkan Rezeki D isertai Tawakkal K epada Allah

Seorang pengusaha muslim dituntut untuk mengambil sebab dalam mencari rezeki dan mengembangkan harta disertai dengan semangat tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla. Allah Dzat yang member rezeki kepada burung-burung setiap pagi dan sorenya, sudah tentu sangat mampu member rezeki kepada manusia. Dialah yang menundukkan segala sesuatu, yang menjalankan segala sesuatu, yang mendatangkan semua sebab di dunia ini. Inilah yang diisyaratkan oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah haditsnya:

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka pasti kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki, yang berangkat di pagi hari dalam keadaan perut kosong, kemudian kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi IV/573 no.2344, Ibnu Majah II/1394 no.4164 dan Ahmad I/30 no.205, 373, dari Umar bin Khathab. Dan syaikh Al-Albani berkata: “Shahih”)

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq/65: 3)

Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah telah menyinggung tentang anjuran kepada manusia untuk mencari sumber kehidupan dan menggali rezeki, di antaranya adalah firman-Nya:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk/67: 5)

Dan firman-Nya pula:

وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al-Muzzammil/73: 20)

Imam Qurthubi rahimahullah mengatakan berkaitan dengan ayat ini dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, “Dalam ayat ini, Allah telah menyamakan antara derajat orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan orang-orang yang mencari harta yang halal untuk memberi nafkah dirinya dan keluarganya, agar ia mampu berbuat baik kepada sesame, dan mampu bersedekah dengan kelebihan hartanya. Oleh karena itu, Ibnu Umar berkata, “Tidaklah Allah menciptakan kematian yang aku ingin mati sekali lagi, setelah kematian di jalan Allah. Dan kematian itu lebih aku cintai daripada kematian di antara dua bukit bersama kendaraanku, yaitu kematian yang menjemputku saat aku mencari rezeki Allah dengan berjalan di atas bumi ini.”

Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan motivasi kepada umatnya agar selalu berusaha dan bekerja untuk mencari rezeki . Diantaranya adalah hadits berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh salah seorang dari kalian mencari kayu bakar lalu memikulnya di atas punggungnya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, lalu ia memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari II/730 no.1968)

عَنِ الْمِقْدَامِ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Dari Al-Miqdam radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang di antara kalian yang makan makanan apa pun, jauh lebih baik dari makan makanan yang berasal dari hasil keringat sendiri. Dan sesungguhnya nabi Daud alaihissalam memakan makanan dari hasil jerih payahnya sendiri.” (HR. Bukhari II/730 no.1966).

Maka, hendaknya setiap pengusaha muslim berupaya untuk mengambil sebab-sebab nyata yang bisa mendatangkan rezeki yang halal lagi baik. Dan hendaknya hatinya merasa tenang dan yakin bahwa sebab-sebab rezeki itu bukanlah faktor utama munculnya rezeki. Karena pada hakikatnya rezeki itu sendiri sudah dijatah dan nasib setiap orang telah ditentukan. Dan apa yang telah ditentukan oleh Allah pasti akan terwujud.

Kelima:
Meyakini Bahwa Allah Telah Menentukan
Kelebihan Atas Orang Lain

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf/43: 32)

Oleh karena itu, seorang pengusaha muslim hendaknya meyakini prinsip ini. Janganlah terlalu silau dengan orang yang mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Hendaknya dia melihat orang yang rezekinya lebih sedikit darinya, kemudian ia memuji kepada Allah Azza wa Jalla atas anugerah-Nya selama ini. Karena terkadang kelapangan rezeki justru merupakan ujian dari Allah untuk mengetahui apakah orang tersebut termasuk orang yang bersyukur atas nikmat-Nya atau orang yang membanggakan diri.

Demikian pula dengan kesempitan rezeki pada seseorang. Mungkin saja hal itu merupakan cara Allah Subahanahu wa Ta’ala untuk memberikan hikmah kepada manusia yang diwujudkan-Nya dalam bentuk ujian, agar dapat diketahui apakah ia termasuk orang yang sabar dalam cobaan atau justru banyak mengeluh. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَادِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ أَفَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl/16: 71)

Allah Azza wa Jalla berfirman pula:

وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’/4: 32)

Sesungguhnya dengan cara yang demikian, Islam menginginkan agar setiap pengusaha muslim mampu menjadikan jiwa mereka bersih dari kebencian, kedengkian dan iri, yang merupakan penyakit hati dan perusak amal yang berbahaya. Dengan keadaan seperti ini, dia akan bisa hidup dengan hati yang sehat, tenang dan terbebas dari bisikan kebencian dan kedengkian.

Keenam:
Selalu Menjaga Aturan-aturan Syari’at dalam Ibadah

Tidak sepantasnya bila seorang pengusaha muslim hanya menyibukkan dirinya mencari sumber penghidupan dunia, dan melalaikan sumber kehidupan akhirat, yang akhirnya akan membuat umurnya sia-sia dan perniagaannya merugi. Dan keuntungan yang seharusnya dia raih di akhirat tidak akan sebanding dengan keuntungan yang dia dapat di dunia. Dan akhirnya, ia seakan-akan menggadaikan akhiratnya untuk membeli dunia. Di dalam Al-Qur’an, Allah Azza wa Jalla telah memuji hamba-hamba-Nya yang mampu memadukan antara mencari rezeki dengan cara perdagangan dan ibadah kepada Allah. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ. رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ. لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ.

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nuur/24: 36-38)

Mereka tetaplah orang-orang yang melakukan transaksi jual beli atau melakukan aktivitas ekonomi yang lain, tetapi jika telah datang waktu shalat, maka mereka bersegera menunaikan hak Allah Azza wa Jalla atas mereka. Mereka menunaikan zakat, menyucikan harta mereka sehingga Allah menyelimuti harta mereka dengan keberkahan. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah/62: 10)

Perdagangan meskipun dipuji karena termasuk sumber rezeki yang halal, akan tetapi bisa menjadi tercela jika ia didahulukan daripada hal-hal yang mestinya didahulukan. Dari sini kita mendapatkan isyarat yang sangat jelas dari firman Allah Azza wa Jalla:

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki.” (QS. Al-Jumu’ah/62: 11)

Dan hendaklah memperbanyak semua bentuk amal kebaikan menjadi perilaku khas setiap pengusaha muslim. Dengannya, hati manusia akan tersentuh dan akan melahirkan cinta dan kasih sayang antar sesama. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Maidah/5: 2)

Dalam takwa tersimpan keridhaan Allah, dan dalam al-birr (berbuat baik) tersimpan keridhaan manusia. Barangsiapa yang mampu menggabungkan antara dua keridhaan tersebut, maka dia akan mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan yang sempurna.

Demikian tulisan sederhana tentang beberapa prinsip keimanan bagi pengusaha muslim sebagai bekal dalam menjalankan bisnis. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-showab.[]

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter