Baju dan Jilbab Hitam, Haruskah?

MUQADDIMAH

"Baju dan jilbab selain warna hitam kurang sempurna",

"Akhwat yang tidak berpakaian hitam-hitam kurang istiqamah",

"Akhwat/muslimah sejati adalah yang berpakaian serba hitam", ... dst.

Itulah yang terucap dari sebagian akhwat (wanita muslimah) yang memahami status pakaian warna hitam bagi wanita muslimah, tetapi memahaminya dengan pemahaman yang kurang sempurna. Bahkan ada sebagian kalangan yang menjadikan pakaian hitam sebagai tolok ukur muslimah sejati bermanhaj salaf.

Di sisi lain, ada yang menganggap bahwa wanita bebas memakai pakaian warna dan motif apa pun yang penting menutup aurat, dengan dalih Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, tanpa mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syari'at; maka jadilah mereka wanita-wanita yang tampaknya berpakaian tetapi hakikatnya tidak berpakaian. [1]

Berikut ini akan kami paparkan penjelasannya dan mudah-mudahan membuka wawasan kita dalam memahami agama Islam dan menempatkan sesuatu pada porsinya dengan adil dan bijaksana.

DI ANTARA SYARAT PAKAIAN WANITA

Di antara syarat pakaian wanita adalah menutupi perhiasan yang menjadi daya tarik kaum laki-laki selain mahramnya. Allah عزّوجلّ berfirman:

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Dan janganlah (wanita itu) menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak darinya. (QS an-Nur [24]: 31)

Tujuan dari perintah berhijab/berjilbab adalah supaya menutupi perhiasan kaum wanita, maka tidak masuk akal jika ada wanita memakai baju/jilbab yang pada dasarnya baju/jilbabnya itu sendiri adalah perhiasan (yang menarik perhatian kaum laki-laki) dan ini termasuk perkara yang mungkar. [2]

Al-Albani رحمه الله mengatakan, "Ketahuilah bahwa bukan termasuk perhiasan (terlarang) sedikitpun jika pakaian wanita berwarna selain putih dan selain hitam, tidak seperti yang dipahami sebagian wanita multazimah (yang menyangka pakaian wanita harus hitam), hal itu karena dua alasan:

1. Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:

وَطِيبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ

"Wewangian kaum wanita itu kelihatan warnanya dan samar baunya." [3]

2. Adanya kaum wanita dari kalangan sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم yang mengenakan pakaian berwama (selain hitam atau putih)." [4]

HINDARI PAKAIAN SYUHRAH

Dari Ibnu Umar رضي الله عنهما berkata: Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا

"Barangsiapa memakai baju syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikan padanya baju kehinaan di Hari Kiamat, lalu dinyalakan dengannya api Neraka." (HR Ibnu Majah: 3596, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Jilbab al-Mar'ah al-Miislimah: 213)

Ibnul Atsir رحمه الله mengatakan bahwa syuhrah artinya "terlihatny a sesuatu", pakaian syuhrah adalah "pakaian yang dijadikan sebagai ciri khas seseorang di tengah manusia sebab berbeda warnanya dengan pakaian manusia (di tempatnya), sehingga manusia melongokkan pandangannya kepadanya, dan orang ini membanggakan dirrnya (dengan pakaiannya) disertai sifat ujub dan kesombongan", dan yang demikian juga disebutkan dalamNailul Authar (lihat Annul Ma'bud Syarh Sunan Abu Dawud 9/1035).

DALIL-DALIL WARNA PAKAIAN WANITA YANG DIBOLEHKAN

1. Sahabat wanita dari suku Anshar memakai kain warna hitam

Setelah turun ayat perintah hijab/jilbab, maka para wanita dari kalangan Anshar mengenakan kain/pakaian berwama hitar'

Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Ummu Salamah رضي الله عنها beliau berkata:

لَمَّا نَزَلَ قَوْلُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ خَرَجَ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُءُوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنْ الْأَكْسِيَةِ

"Tatkala turunnya firman Allah 'Hendaklah kaum wanita menjulurkan jilbabnya', maka kaum wanita Anshar keluar seakan-akan di atas kepalanya ada burung gagak, sebab pakaian-pakaian mereka." [5]

Berkata Abdul Muhsin al-Abbad حفظه الله "Maksudnya, mereka memakai penutup kepala, yaitu mereka bersegera menutupi kepala dan wajah mereka sehingga mereka bagaikan burung gagak dari sisi warnanya, karena warna burung gagak adalah hitam, dan demikianlah penutup kepala mereka (berwama hitam), meskipun hijab itu tidak harus berwama hitam." [6]

2. Sahabat wanita pernah berpakaian warna hijau

عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ الْقُرَظِيُّ قَالَتْ عَائِشَةُ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا

Dari Ikrimah رحمه الله berkata, "Rifa'ah telah menceraikan istrinya, lalu Abdurrahman ibn Zabir al-Quradhi menikahinya, lalu Aisyah رضي الله عنها berkata, 'Wanita itu mengenakan kerudung hijau', lalu dia mengadu kepadanya." (HR al-Bukhari: 5377)

3. Para sahabat wanita memakai kain yang tidak polos

Sebagaimana dalam sebuah hadits dari Urwah رحمه الله beliau berkata, Aisyah رضي الله عنهما berkata:

كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الْغَلَسِ

"Dahulu kaum mukminah ikut serta salat Subuh dalam keadaan berselimutkan muruth mereka, kemudian mereka pulang ke rumah-rumahnya tatkala salat selesai, seorang pun dari mereka tidak dikenal karena masih gelap." (HR al-Bukhari: 578, Muslim: 1489)

Al-Mubarakfuri رحمه الله menjelaskan, [7] "Al-muruth adalah bentuk jamak dari اَلْـمَرِطْ /al-mirth/, dengan mengasrah mim dan menyukun ra', artinya kain yang bercorak (bukan polos) baik terbuat dari sutera, wol, atau lainnya; demikianlah yang dikatakan oleh al-Hafizh (Ibnu Hajar) dan lainnya."

Al-Qadhi Iyadh رحمه الله mengatakan, [8] "Al-muruth adalah kain wol yang bermotif kotak."

4. Aisyah رضي الله عنها pernah mengenakan jilbab warna mawar

Hal ini diungkapkan Atha', beliau melihat Aisyah رضي الله عنها melakukan tawaf dan beliau mengatakan:

رَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعا مُوَرَّدًا

"Aku melihatnya (Aisyah رضي الله عنها) mengenakan kerudung warna mawar." (HR al-Bukhari: 1513)

5. Aisyah رضي الله عنها pernah menggunakan baju merah ketika berihram

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits secara mu'allaq. Beliau mengatakan:

وَلَبِسَتْ عَئِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا الثِّيَابَ الْمُعَصْفَرَةَ وَهْيَ مُـحْرِمَةٌ وَقَالَ جَابِرٌ لَا أَرَى الْـمُعَصْفَرَ طِيْبًا وَلَمْ تَرَ عَائِشَةُ بَأْسًا بِالْـحُلِيَ وَالثَّوْبِ الأَسْوَدِ وَالـمُوَرَّدِ وَالْـخُفِّ لِلْمَرْأَةِ

"Aisyah رضي الله عنها mengenakan baju merah sedangkan beliau dalam keadaan berihram."

Jabir berkata, " Aku tidak menganggap baju yang dicelup dengan usfur (merah) itu termasuk wewangian yang terlarang (saat ihram), dan Aisyah رضي الله عنها menganggap tidak mengapa (saat berihram) memakai perhiasan, baju hitam, baju merah, dan boleh wanita (berihram) memakai sepatu." (HR al-Bukhari, Bab Ma Yalbasu al-Muhrim minats Tsi-yab wal Ardiyah wal Uzur, bab no. 23)

Demikian juga dalam hadits lain dari Amr ibn Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata:

"Kami turun bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم dari suatu lembah, lalu beliau menoleh kepadaku sedangkan aku mengenakan baju yang diwarnai dengan usfur (merah), lalu Nabi صلى الله عليه وسلم berkata, 'Baju apa yang kamu pakai ini?' Maka aku tahu beliau tidak menyukainya, lalu aku datang menemui keluargaku sedangkan mereka sedang menyalakan tungku, lalu aku lemparkan baju itu ke tungku, kemudian besoknya aku datang kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم kemudian beliau bertanya,' Wahai Abdullah, apa yang engkau lakukan terhadap bajumu?' Lalu aku ceritakan kepada beliau, kemudian beliau bersabda, 'Mengapa tidak engkau berikan baju itu kepada sebagian keluargamu, karena sesungguhnya baju (merah) itu boleh untuk kaum wanita.'" (HR Abu Dawud: 4066, Ibnu Majah: 3603, dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud: 4066)

6. Para istri Nabi صلى الله عليه وسلم pernah memakai kain merah

Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah disebutkan:

عَنْ إبْرَاهِيْمَ وَهُوَ النَّخَعِي أَنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ مَعَ عَلْقَمَةَ والْأَسْوَدِ عَلى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَرَاهُنَّ في اللُّحُفِ الأَحْمَرِ

"Dari Ibrahim an-Nakha'i bahwasanya beliau pernah bersama Alqamah dan al-Aswad menemui para istri-istri Nabi صلى الله عليه وسلم, maka dia melihat mereka berselimutkan kain merah." [9]

PAKAIAN HITAM DAN SELAIN HITAM DIBOLEHKAN BAGI WANITA

  • Al-Lajnah ad-Da'imah ditanya tentang status pakaian hitam bagi wanita, dan makna perkataan Aisyah رضي الله عنها, "seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak"

Lajnah menjawab:

"Boleh bagi wanita memakai pakaian warna hitam dan selain hitam, selama tidak menyerupai pakaian laki-laki. Adapun perkataan Aisyah رضي الله عنها 'seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak' ini adalah pujian kepada mereka para wanita muslimah yang segera melaksanakan perintah hijab, dan ini mengisyaratkan bahwa pakaian mereka berwarna hitam, Wabillahit taufiq." [10]

· Asy-Syaikh Abdul Aziz ibn Baz رحمه الله saat ditanya tentang pakaian hitam bagi kaum wanita muslimah, beliau berfatwa:

"Tidak ada kewajiban bagi muslimah untuk mengharuskan diri memakai pakaian hitam. Akan tetapi, (pakaian wanita) tidak boleh menarik perhatian dan tidak menimbulkan fitnah/godaan, karena Allah berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى

Dan tinggallah (wahai kaum wanita) di rumah-rumahmu, dan janganlah ber- tabarruj/bersolek seperti kaum jahiliah dahulu bersolek. (QS al-Ahzab [33]: 33)

Para ulama mengatakan tabarruj (bersolek) artinya kaum wanita yang memperlihatkan keindahan dan sesuatu yang dapat menggoda (laki-laki). Maka pakaian wanita yang biasa (bukan pakaian perhiasan) adalah pakaian yang berwarna hitam atau selain hitam, seperti merah, biru, atau hijau, selagi tidak terdapat hiasan atau sesuatu yang indah yang dapat menarik perhatian (laki-laki); maka pakaian seperti itulah yang selayaknya dipakai wanita, demikian juga pakaian dalam (maksudnya pakaian yang biasa dipakai di dalam rumah) seharusnya ditutup/dilapisi dengan pakaian luar seperti jilbab (lebar) atau abaya..." [11]

BAGAIMANA DENGAN PAKAIAN PUTIH BAGI WANITA?

Hukum asalnya, warna pakaian putih adalah warna pakaian yang terbaik, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:

الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضِ، فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ

"Kenakanlah pakaianmu yang berwarna putih karena itu sebaik-baik pakaianmu." (HR Abu Dawud 2/176, dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Ahkamul Jana'iz: 62)

Akan tetapi, sebagian para ulama menganggap bahwa pakaian putih dikhususkan untuk kaum laki-laki, berbeda dengan wanita, tidak dianjurkan memakai warna putih, dengan alasan wanita lebih tertutup jika mengenakan warna selain putih. [12]

Sementara itu, sebagian lain menganggap wanita seperti laki-laki dalam segala hukum jika tidak terdapat dalil yang membedakannya, dan termasuk dalam hal ini warna pakaian, maka wanita sama dengan laki-laki, karena tidak ada dalil yang mengkhususkan warna tertentu hanya untuk laki-laki, sehingga tidak terlarang wanita memakai pakaian dengan warna seperti warna pakaian laki-laki. Hanya, harus diperhatikan, jika pakaian warna putih itu identik atau menjadi simbol pakaian khusus laki-laki, atau dianggap sebagai pakaian perhiasan seperti di Nejed, atau jika wanita memakainya akan disebut menyerupai laki-laki, maka pakaian warna putih semacam ini terlarang bagi kaum wanita disebabkan menyerupai lawan jenis bukan karena warnanya yang putih. [13]

WANITA BERIHRAM TIDAK HARUS BERPAKAIAN PUTIH

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله ditanya masalah ini lalu beliau menjawab:

"Ihramnya kaum wanita tidak sama dengan laki-laki, (laki-laki) berihram dengan pakaian khusus (dua kain) untuk atasan dan bawahan, sedangkan wanita memakai pakaian sesukanya dengan pakaian yang dibolehkan sebelum ihram, boleh memakai warna hitam, merah, kuning, hijau, atau yang lain yang dia mau; adapun pakaian warna putih, maka aku tidak mengetahui adanya perintah supaya berihram dengan pakaian putih." (Majmu' Fatawa Ibn Utsaimin 22/180)

DILARANG MENGKHUSUSKAN PAKAIAN HITAM SAAT BERKABUNG

Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله ditanya tentang wanita memakai pakaian hitam jika terjadi musibah, seperti kematian suaminya atau keluarganya, maka beliau menjawab:

"Memakai pakaian hitam ketika terjadi musibah adalah syi'ar yang batil, dan tidak ada asal-usulnya. Seseorang tatkala ditimpa musibah selayaknya melakukan apa yang disyari'atkan seperti mengucap:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا

'Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya, ya Allah limpahkanlah pahala dalam musibahku ini, dan berilah ganti yang lebih baik darinya.'

Apabila seorang yang tertimpa musibah mengucap do'a ini dengan iman dan berharap pahala maka Allah memberikan pahala atas musibahnya dan akan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik lagi. Adapun mengenakan pakaian tertentu seperti warna hitam dan yang semisal (karena musibah) maka tidak ada asal-usulnya, dan ini termasuk perkara batil serta tercela." [14]

Dalam fatwa lain beliau menambahkan, "Mengkhususkan pakaian tertentu saat takziah menurut kami termasuk bid'ah, karena itu termasuk menampakkan kemurkaan terhadap takdir Allah, meskipun sebagian orang menganggap tidak mengapa; akan tetapi, jika para pendahulu (salaf) tidak melakukannya maka tidak diragukan lagi bahwa meninggalkan hal itu lebih utama karena bila seorang mengenakannya maka itu lebih dekat kepada dosa daripada kepada selamatnya dari dosa." (Majmu' Fatawa Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin 17/329)

Beliau menambahkan (17/414), "Mengenakan pakaian hitam saat berkabung termasuk bid'ah dan menampakkan kesedihan, dan ini serupa dengan (larangan meratapi mayat) seperti merobek baju dan menampar pipi yang Nabi صلى الله عليه وسلم telah berlepas diri dari pelakunya sebagaimana beliau bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ شَقَّ الْجُيُوبَ، وَلَطَمَ الْخُدُودَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

'Bukan termasuk golongan kami orang yang (meratapi mayat dengan) merobek baju, menampar pipi, dan menyeru dengan seruan kaum jahiliah.'"

Wallahu A'lam.[]

[1] Sebagaimana Nabi صلى الله عليه وسلم menyebutkan di antara golongan yang tidak akan masuk Surga, " Wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, mereka tidak masuk surga dan tidak mencium baunya Surga... " (Lihat HR Muslim: 5704.)

[2] Lihat perkataan semisal oleh al-Albani dalam Mukhtashar Jilbab al-Mar'ah al-Muslimah fil Kitab was Sunnah, hlm. 60.

[3] HR Abu Dawud dan an-Nasa’i dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Mukhtashar Jilbab al-Muslimah hlm. 62

[4] Kemudian al-Albani menyebutkan lima dalil yang menunjukkan adanya kaum wanita sahabat Nabi yang mengenakan pakaian dengan warna selain hitam (lihat Jilbab al-Mar'ah al-Muslimah hlm. 62), dan akan kami paparkan dalil-dalil tersebut setelah ini, insya Allah.

[5] HR Abu Dawud: 4101, dari Ummu Salamah رضي الله عنها dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Jilbab al-Mar'ah al-Muslimah hlm. 82.

[6] Syarh Sunan Abu Dawud lisy Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad : 23142, demikian juga dikatakan oleh Abdurrahman ibn Abu Bakr as-Suyuti dalam tafsirnya ad-Durr al-Mantsur fit Tafsir bil Ma'tsur 12/142, al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi Hatim ar-Razi dalam Tafsir-nya 10/3154, Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur'anul Azhim 6/482, Jamaluddin al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasin at-Ta'wil: 59, Syihabuddin al-Alusi dalam tafsirnya Ruhul Ma'ani 11/264, dan lainnya.

[7] Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami' at-Tirmidzi 1/183. Demikian juga dijelaskan dalamIthaf al-Kiram bi Syarh 'Umdatil Ahkam 5/1-2,Taisirul Allam Syarh 'Umdatul Ahkam 1/101,Ihkamul Ahkam Syarh 'Umdatul Ahkam 1/93, Ta'sisil Ahkam bi Syarh 'Umdatul Ahkam 1/70.

[8] Lihat Kamal al-Mu'lim Syarh Shahih Muslim 6/303.

[9] HR Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 8/184, dan di nyatakan shahih oleh al-Albani dalam Jilbab al-Mar'ah al-Muslimah 1/121.

[10] Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah 17/109, fatwa no. 7523, ditandatangani oleh Abdul Aziz ibn Baz sebagai ketua, Abdur-razzaq Afifi sebagai wakil, dan Abdullah al-Ghadiyan serta Abdullah ibn Qu'ud sebagai anggota.

[11] http://www.ibnbaz.org.sa/mat/18614

[12] Seperti yang dikatakan oleh asy-Syaikh Salih al-Fauzan dalam Tashilul llmam fi Fiqhi al-Ahadits Bulugh al-Maram 3/31.

[13] Sebagaimana fatwa al-Lajnah ad-Da'imah dan perkataan asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin dalam Fath Dzil jalal wal Ikram bi Syarli Bulugh al-Maram 5/434, dan lihat Fatwa al-Mar'ah 2/84 dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid.

[14] Dari Fatawa asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin, soal no. 10919, lihat Majalah ad-Da'wah edisi no. 1789, hlm. 60.

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter