Barometer Akhlak Mulia

PENDAHULUAN

Begitu banyak orang keliru menggunakan standar dalam menilai baik-buruknya orang lain. Keramahan, ringan tangan dalam membantu orang lain dan suka nraktir termasuk sebagian standar umum yang sering dikategorikan pertanda kebaikan budi seseorang.

Sebenarnya, pola penilaian seperti itu tidaklah mutlak keliru. Hanya saja kurang jeli karena masih menyisakan titik kelemahan. Sebab sangat mungkin, seseorang itu menerapkan dua akhlak (perilaku) yang berbeda pada dua kesempatan yang berbeda. Berakhlak mulia di satu tempat, tetapi tidak demikian di tempat yang lain, tergantung kepentingannya.

Lantas, bagaimanakah cara Islam menentukan kemuliaan akhlak dan pribadi seseorang? Apakah barometer bakunya? Tulisan sederhana ini berusaha sedikit mengupas dan mengungkap permasalahan tersebut.

ISLAM, AGAMA AKHLAK

Di antara tujuan utama Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم diutus, selain untuk menegakkan tauhid di muka bumi, adalah menyempurnakan akhlak umat manusia. Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:

بُعثْتُ لِأُتَـمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ

Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR. al-Hakim dan dishahihkan oleh al-Albani)

Betapa besar perhatian Islam terhadap pembentukan akhlak yang luhur pada umatnya, karenanya tidak hanya menjelaskan hal ini secara global, namun Islam juga menerangkannya secara detail. Islam telah memaparkan bagaimana akhlak seorang Muslim kepada Rabbnya, keluarganya, tetangganya, bahkan kepada hewan dan tetumbuhan sekalipun. Alangkah indahnya petunjuk Islam!

Di antara persoalan yang tidak lepas dari sorotannya ialah penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Yakni, kapankah seseorang itu berhak dinilai memiliki akhlak mulia. Atau dengan bahasa lain, aspek apakah yang bisa dijadikan 'jaminan' seseorang benar-benar berakhlak mulia pada seluruh sisi kehidupannya?

BAROMETER AKHLAK MULIA

Panutan kita, Rasulullah صلي الله عليه وسلمtelah menyodorkan jawaban permasalahan di atas dalam sabda beliau صلي الله عليه وسلم berikut:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku. (HR. at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani)

Hadits di atas terdiri dari dua bagian. Pertama, penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Kedua, tentang siapakah yang pantas dijadikan panutan dalam hal tersebut. Berikut penjelasan dua sisi yang dimaksud.

Pertama: Mengapa berakhlak mulia kepada keluarga, terutama terhadap istri dan anak-anak, dijadikan barometer kemuliaan akhlak seseorang?

Setidaknya, ada dua hikmah di balik peletakan barometer tersebut [1] :

a. Sebagian besar waktu yangdimiliki seseorang dihabiskan di dalam rumahnya bersama istri dan anak-anaknya. Andaikata seseorang itu bisa bersandiwara (berpura-pura) denganb menampilkan akhlak mulia di tempat kerjanya yang hanya berlangsung beberapa jam saja belum tentu ia sanggup bertahan untuk terus melakukannya di rumahnya sendiri. Karena berpura-pura baik di rumah lebih sulit dipertahankan lantaran keberadaannya di tengah keluarga lebih lama ketimbang di kantor atau saat berkenalan dengan seseorang. Sehingga saat dia dirumah, tampaklah karakternya yang asli.

Ketika berada di kantor atau saat bertemu kenalan, seorang lelaki bisa menutupi sifat aslinya yang buruk dengan muka yang manis, tutur kata yang lembut dan suara yang halus. Namun, jika itu bukanlah watak aslinya, dia akan sangat tersiksa dengan 'peran' palsunya itu jika harus dipertahankan sepanjang harinya.

Kebalikannya, seseorang yang memang pembawaan di rumahnya berakhlak mulia, insya Allah secara otomatis ia akan mempraktekkannyadi manapun ia berada.

b. Di tempat kerja, ia hanyalah berposisi sebagai bawahan, yang notabenenyaadalah lemah. Sebaliknya, ketika di rumah ia berada di posisi yang kuat, karena menjadi kepala rumah tangga.Perbedaan posisi tersebut tentunya sedikit-banyak berimbas pula pada sikapnya di dua dunia yang berbeda itu.

Ketika di kantor, ia mesti menjaga 'rapor'nya di mata atasan. Untuk itu, ia berusaha melakukan apapun demi meraih tujuannya itu. Meskipun untuk merealisasikannya, ia harus memoles akhlak buruknya untuk sementara waktu. Hal itu tidaklah masalah. Yang penting karirnya bisa terus menanjak dan gajinya pun bisa ikut terdongkrak.

Adapun di rumah, di saat posisinya kuat, dia akan melakukan apapun seenaknya sendiri, tanpa merasa khawatir akan dipotong gajinya ataupun dipecat.

Demikian itulah kondisi orang yang berakhlak mulia karena kepentingan duniawi. Lalu bagaimanakah halnya dengan orang yang berakhlak mulia karena Allah? Ya, dia akan terus berusaha menerapkannya dalam situasi dan kondisi apapun, serta di manapun ia berada. Sebab ia merasa selalu di bawah pengawasan Allah, Dzat Yang Maha melihat dan Maha mengetahui.

Kedua: Beberapa potret kemuliaan akhlak Nabi صلي الله عليه وسلم terhadap keluarganya.

Sebagai teladan umat, amatlah wajar jika praktek keseharian Nabi صلي الله عليه وسلم dalam bergaul dengan keluarganya kita pelajari. Dan tentu saja lautan kemuliaan akhlak beliau terhadap keluarganya tidak bisa dikupas dalam lembaran-lembaran tipis ini. Oleh karena itu, di sini kita hanya akan menyampaikan beberapa contoh saja guna memberikan gambaran betapa mulianya kepribadian beliau terhadap keluarga.

a. Turut membantu urusan dapur

Berdasarkan hukum asal, urusan dapur dan tetek bengeknya memang merupakan kewajiban istri. Namun, meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi Rasulullah صلي الله عليه وسلم untuk ikut turun tangan membantu pekerjaan para istrinya. Dan ini tidak terjadi melainkan karena demikian tinggi kemuliaan akhlak yang beliau miliki.

عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمُّ الْـمُؤْمِنِيْنَ أي شَيءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ عِنْدَكَ؟ قَالَت: مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِيْ مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثُوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

Urwah bertanya kepada Aisyah, "Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah صلي الله عليه وسلم tatkala bersamamu (di rumah)?" 'Aisyah menjawab, "Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember". (HR. Ibnu Hibban)

Subhanallah! Di tengah kesibukan beliau yang luar biasa padat; berdakwah, mengajarkan ilmu, menjaga stabilitas keamanan negara, berjihad, mengurusi ekonomi umat dan lain-lain, beliau صلي الله عليه وسلم masih bisa menyempatkan diri mengerjakan hal-hal yang dipandang rendah oleh sebagian suami di masa sekarang ini! Andaikan saja para suami itu mau terjun menangani urusan rumah tangga termasuk urusan dapur, insya Allah keharmonisan rumah tangga mereka akan langgeng.

b. Berpenampilan menarik di hadapan istri dan keluarga.

Dalam hadits berikut, 'Aisyah, salah seorang istri Nabi صلي الله عليه وسلم menyampaikan pengamatannya;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ

Jika memasuki rumah, hal yang pertama kali dilakukan Nabi adalah bersiwak (HR. Muslim)

c. Tidak bosan untuk terus menasehati istri dan keluarga.

Rasulullah صلي الله عليه وسلم mengingatkan:

أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Ingatlah, hendaknya kalian berwasiat yang baik kepada para istri. (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albani)

Timbulnya riak-riak dalam kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, jika hal itu sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang antara suami dan istri, atau bahkan menghancurkan bahtera pernikahan, tentulah sangat berbahaya. Agar mimpi buruk itu tidaklah terjadi, seyogyanya ditumbuhkan budaya saling memahami dan kebiasaan saling menasehati antara suami dan istri.

Daripada itu, benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri hendaknya tidaklah didiamkan begitu saja hanya karena dalih menjaga keharmonisan rumah tangga. Justru sebaliknya, kesalahan-kesalahan itu harus segera diluruskan. Dan tentunya hal itu harus dilakukan dengan cara yang elegan: tutur kata yang lembut, raut muka yang manis dan metode yang tidak menyakiti hati pasangannya.

PENUTUP

Semoga tulisan sederhana ini bisa dijadikan sebagai salah satu sarana instrospeksi diri -terutama bagi mereka yang menjadi panutan orang banyak, seperti: dai, guru, ustadz, pejabat dan yang semisalnya- untuk terus berusaha meningkatkan kualitas muamalah para panutan itu terhadap keluarga mereka masing-masing. Jika sudah demikian, berarti mereka telah benar-benar berhasil menjadi qudwah (teladan) dengan sebenarnya. Wallahu a’lam.

[1] Disarikan dari Kitab al-Mau’izah al-Hasanah fi Akhlaq al-Hasanah, Karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani (hlm. 77-79)

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter